Digendong Mbah Buncis kemana-mana

"Tak Gendong Kemana-mana". Penggalan lirik lagu milik almarhum Mbah Surip ini entah mengapa terus saya dengungkan dalam hati saat melihat Mbah Buncis menggendong dan menari beberapa bulan lalu. Mungkin karena keduanya sama-sama mengartikan solidaritas.
•Oleh : Anita Wiryo Rahardjo•

Mbah Buncis merupakan salah satu tokoh sentral dalam seni Golek Gendong. Golek dalam bahasa Banyumasan berarti boneka. Boneka, seperti kita ketahui bersama, sering diikutsertakan dalam pertunjukan tradisi. Entah sekedar dolanan bocah hingga ritual. Tentu saja dengan bentuk beraneka rupa. Bedanya, dalam Golek Gendong bukan boneka yang digendong si penari. Melainkan penari (yang seolah) digendong boneka.

Adalah takut yang teramat sangat, saat saya kecil melihat rombongan Golek Gendong ngamen ke rumah. Penampilan seram Mbah Buncis penyebabnya. Ditambah lagi orang-orang dewasa disekitar saya berujar "arep ana pageblug apa maning kiye", seraya menutup pintu. Entah benar atau tidak. Mungkin ini propaganda di masa lalu ya yang membuat masyarakat takut pada seni tertentu.

Golek gendong dikenal juga dengan nama Buncisan. Buncis disini bukan nama sayuran. Ada yang menyebutkan buncis berasal dari kata bundhelan cis ada pula buntara cis. Namun seorang pelaku seni bernama Tuwarno, S.Pd dari sanggar Blakasuta menyatakan bahwa mbuncis berarti memelas. "Wajah Mbah Buncis kan nelangsani", ujarnya.

Bagi Tuwarno, buncis golek gendong adalah bentuk solidaritas sesama seniman tradisi yang selama ini kurang mendapat perhatian serius. Baik dari Pemerintah maupun masyarakatnya sendiri. Sejak 2013, ia mulai mengenalkan kembali Golek Gendong. Paling sering ia ikutsertakan Mbah Buncis dan si penari goleknya pada seni ebeg.

• Berasal dari Banyumas•

Seni ini diperkirakan berkembang pada abad ke-18 di Banyumas. Ini berkaitan erat dengan kisah Raden Prayitno yang digendong makhluk berwajah seram setelah mengalahkan pesaingnya saat melamar Dewi Nur Kanthi. Ada yang mengartikan buncis dari senjata yang dipakai sang Raden. Bun adalah buntara atau gagang keris. Dan cis adalah serupa keris kecil.

Sementara itu, versi lain mengatakan buncis dari kata bundhelan cis. Bundhelan adalah simpul atau sesuatu yang harus dipegang teguh, sementara cis bermakna kata yang keluar sebagai lisan seseorang. Sehingga ini dimaknai sebagai perkataan baik yang menjadi pegangan. Istilah ini diperkirakan muncul pada saat pasukan Pangeran Diponegoro mengungsi ke wilayah Banyumas. Mereka sering mengadakan pertunjukan buncisan untuk menghibur diri. Dan dari situlah makna bundhelan cis muncul. Disini, perkataan baik yang dimaksud adalah perintah Pangeran Diponegoro untuk sadhumuk bathuk sanyari bumi.

Sedangkan di Purbalingga, mbuncis adalah memelas. Tak heran aura kesedihan juga terdengar dari instrument pengiringnya. "Harus gendhing tlutur", lanjut Tuwarno. Gendhing tlutur ini khusus menggabarkan suasana duka cita. Tapi tidak berarti juga diputarkan di pemakaman. Identik dengan gesekan rebab yang menyayat. Salah satu gendhing tlutur adalah Laler Mengeng. Gendhing yang dilarang dimainkan saat pagelaran wayang kulit.

Oleh sanggar Satria Blakasutha, pertunjukkan golek gendong diibaratkan dengan paduan gerak dan cerita tentang santri dan kiai atau raja dan rakyatnya. Usai menari dengan iringan gendhing tlutur, mereka akan masuk dan baru keluar setelah irama bercorak kebahagiaan mengumandang.

Pergantian alunan itu seperti harapan para seniman. Kebahagiaan seniman adalah ketika pemerintah memperhatikan nasib mereka dan terpenting masyarakat merasa membutuhkan seniman.

• Mbah Buncis •

Golek Mbah Buncis menjadi satu yang identik dengan golek gendong. Boneka ini terbuat dari kayu dan seukuran orang dewasa. Penari golek akan memasangkan Mbah Buncis di bagian depan. Tak ketinggalan tambahan properti berupa kain berbentuk tubuh bagian belakang diletakkan di punggung bawah penari. Ini untuk semakin mengesankan seolah Mbah Buncis lah yang mengendong penari.

Untuk pemilihan warna kostum, hitam memang mendominasi. Selain itu Mbah Buncis pun identik dengan raut seram sedih serta rambut panjang tak beraturan yang semakin mengesankan dramatis. Pemilihan warna hitam, selain menggambarkan keprihatinan juga  perlambang kebijaksanaan.

Nah, sebagai tokoh utama Mbah Buncis kerap mendapat perlakuan istimewa. Ia akan 'dirumat' pada malam-malam tertentu atau sebelum pentas.

Saat ini Sanggar Satria Blakasutha merupakan satu-satunya pelestari Buncis Golek Gendong di Purbalingga. Memang tidak banyak yang mengundang, tapi mereka terus mencoba mengenalkannya kembali pada masyarakat. "Gemana mau diundang, pada kenal saja enggak", katanya seraya terkekeh. Iya juga ya ?

Rasa-rasanya saya baru ngeh kalau ternyata kesenian bisa menjadi wajah tradisi kita. Jika seniman ini mulai meluapkan keprihatinan nasib mereka dalam bentuk karya seni, maka sudah waktunya untuk kita lebih mengenali, peduli dan menghargai seni tradisi dan pelakunya. Bukankah kita juga tidak menginginkan disebut wajah tradisi kita ini suram ?

Lamat-lamat terdengar dari rumah sebelah suara berat Mbah Surip yang melantunkan tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana, tak gendong.....


Nuwun

Komentar

  1. Kie blog ana translete apa ora kang!!!!!!!!!

    BalasHapus
  2. Mau ditranslete ke basa apa memangnya mas Aji Yuuji ? Hehe... Tidak pakai translet mas karena banyak penggunaan bahasa yang tidak sesuai eyd. Matur nuwun sudah berkunjung

    BalasHapus

Posting Komentar