Salah satu sudut rumah pasangan seniman ketoprak tobong Sumarni - Sukirman
“Ora
ana wong kere, kaya dene kere-ne ketoprak. Lan ora ana wong dadi Raja kaya dene
raja ketoprak”
Ungkapan
ini beberapa kali terucap dari bibir pasangan mantan pemain ketoprak Sukirman –
Sumarni, di kediaman mereka di Purbalingga. Setelah berbulan-bulan mencoba
menggali informasi tentang kesenian rakyat ini, akhirnya sedikit kisah tentang
ketoprak tobong terbuka juga. Bagaimana lengkapnya ?
PENGUNGSIAN
Sore
yang cerah menjadi semakin hangat dengan obrolan pasangan ini yang diawali
dengan kenangan masa kecil mereka yang dilewatkan di tobong ketoprak. Mereka
sama-sama putra seniman ketoprak. Sehingga sejak awal seni peran tradisional
ini sudah mendarah daging. “Lah wong kita ini lahir dibawah kelir kok”,
seloroh mereka.
Dan
seperti lazimnya para seniman ketoprak tobong merekapun bukan penduduk asli
alias pendatang. Sumarni sendiri berasal dari Gombong Kebumen, sementara
Sukirman asli Kulon Progo, Jogjakarta. Bagaimana mereka bisa sampai di bhumi
perwira ini ?
Sumarni
mengisahkan pada sekira tahun 60 kedua orang tuanya memilih mengungsi dari
serbuan paham komunis dengan kedok berkesenian. Dengan dalih berprofesi sebagai
seniman ketoprak ini, selain lebih mudah berpindah-pindah ke lokasi yang lebih
aman mereka pun terbebas dari kecurigaan pihak keamanan.
“Mbiyen,
podho sami dados pemian ketoprak niki sakjane podho ngili. Lah seko Gombong,
Prembun, Banyumas akhire Purbalingga”, kenang Sumarni.
SEJARAH KETOPRAK
Ketoprak
meruapkan seni drama atau sandiwara tradisional yang muncul pada sekira tahun
1922 pada masa Mangkunegaran. Seni ini diperankan diatas panggung dengan
mengambil cerita dari sejarah, cerita panji, dongeng dan lainnya. Yang pasti
tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar Ramayana & Mahabaratha.
Bahkan kadangkala cerita saduran dari luar negeri pun kerap dimainkan. Ciri
khasnya adalah diselingi lawakan atau humor.
Semula
ketoprak diciptakan oleh masyarakat diluar kerajaan. Pemeran memainkan tokoh
raja, ratu, mentri, panglima, bangsawan dan siapapun yang diinginkan. Namun
pada kenyataannya anggota kerajaan pun menyenangi seni rakyat ini.
Pada
awalnya ketoprak menggunakan iringan suara lesung dan alu. Alat-alat ini
menimbulkan suara “prak, prak, prak” yang menjadi inti kata ketoprak. Namun
seiring waktu berjalan ketoprak pun kerapkali diiringi gamelan, keprak bahkan
sampai music modern seperti biola, terompet, dsb.
Pad
atahun 1924, grup ketoprak kelilingan muncul di Jogjakarta yaitu Langen Budi
Wanodya. Dan sejak saat itulah bermunculan grup-grup ketoprak kelilingan di
berbagai wilayah. Ketoprak kelilingan inilah yang kemudian menginspirasikan
pembuatan tobong ketoprak.
TOBONG ADALAH RUMAH
Tobong
adalah kata yang digunakan untuk menyebut bangunan permanen yang dapat
dipindah-pindah. Ingat dengan bilik suara ? Nah, dalam bahasa Jawa bilik suara
juga sering disebut sebagai tobong Pemilu.
Nah,
terkait dengan nama “tobong” ini, Sukirman mengungkapkan ada dua kategori untuk
menyebutkan tempat pementasan ini. Pertama : bangunan non permanen untuk
pementasan dan tempat tinggal seniman ketoprak yang dapat dibongkar pasang dan
berpindah-pindah tiap beberapa waktu. Yang kedua adalah sebuah bangunan semi
permanen yang sengaja dibangun untuk pementasan ketoprak dan wayang orang
dengan grup pengisi yang berganti-ganti dalam periode waktu tertentu. “Jadi, kalau bangunannya sudah semi atau
permanen sekalian dan pengisinya hanya satu grup saja, namanya bukan lagi
tobong tapi gedung kesenian”, terang Sukirman.
Tobong
adalah tempat hidup para seniman ketoprak. Pada saat pagelaran, tempat ini
berfungsi menjadi arena pementasan. Sebelum dan sesudah pentas, tobong akan
beralih fungsi menjadi rumah bagi para pemainnya. Jadi seluruh aktivitas mulai
dari makan, belajar, tidur, dandan sampai pentas dilakukan di tempat ini.
Bersama-sama dengan pemeran lainnya. Bahkan mereka tidak hanya “gel-gel-an nggawa awak siji” namun anak-anak
mereka ang masih kecil pun ikut merasakan hidup di dalam tobong.
Sumarni
mengisahkan, anak-anak tobong ini sangat kesulitan untuk bersekolah karena
penghasilan orang tuanya yang tidak seberapa. Jangankan untuk sekolah, untuk
makan saja sudah luar biasa susahnya. Berunung saat masa kecilnya, ada seorang
personil tobong yang dengan sukarela mengajari mereka calistung. Ya meski tidak
smeuanya beruntung dapat mengenyam pendidikan formal, namun ditangan merekalah
kesenian ini terus lestari. Tidak sedikit dari anak-anak “wayang” ini memulai
debutnya sebagai opening act performer. “Mbiyen
sing teksih enom biasane podho dados ekstra ndisik. Dados wonten tari-tarian
riyin sedereng ketoprak mulai”, kisah Sumarni yang juga mengawali kariernya
sebagai ekstra atau bonus dalam pagelaran ketoprak. Diluar pendidikan menari,
nembang, ngrawit dan berperan, pendidikan seni hidup di tobong jugalah yang
memantapkan langkahnya menjadi seorang seniman.
“Seniman itu harus
bisa hidup dimana saja dengan kondisi seberat apapun di lingkungan yang
beragam. Ga perlu malu, isin yo ra mangan”, lanjut Sumarni sembari mengenang
betapa survival-nya para seniornya dulu. Bagaimana tidak ? Kemegahan pagelaran
ketoprak tidaklah sebanding dengan realita kemerlaratan di tobong.
Pengalamannya mencatat kisah-kisah seniman lain yang mau tidak mau harus
membuang malu memunguti puntung kretek penonton yang tertinggal. Setelah
mencapai jumlah yang cukup, puntung-puntung itu dibongkar, dijemur dan dijual
kembali. “Tapi kalau cuma dapet satu ya
dirokok sendiri”, gelaknya.
Pemandangan
rutin serupa inilah yang membuat Sukirman kemudian memutuskan mencari pekerjaan
lain dan cukup sesekali nimbrung main bersama istrinya yang memang total
berkesenian. Meski kemudian tobong ditinggalkannya, namun pelajaran hidup
disana menjadi bagian dalam darahnya.
foto ini diambil dari jogjanews.com
TANPA SKRIP
Sebagai
seorang penonton, kita seringkali dibaut terlarut dalam suatu cerita.
Kepiawaian wayang memerankan lakon memang dituntut dalam ketoprak atau wayang
orang. Learning by doing adalah pola yang berlaku di tobong. Berbeda dari
sandiwara yang biasa saya perankan, ternyata ketoprak yang sebenarnya tidaklah
membutuhkan naskah scenario berisi dialog.
Jalan
cerita dan pemahaman karakter yang sudah mengakar serta penuangan dari dhalang pada
siang sebelum pementasan menjadi bekal yang lebih dari cukup.
Penuangan
adalah istilah khusus dalam seni peran panggung Jawa yang berarti setaraf
briefing. Saat penuangan inilah dhalang akan ndapuk peran pada para pemainnya disertai gambaran cerita scene per
scene dan penjelasan karakter tokoh. Dan sebelum penuangan berlangsung, dhalang
akan memanggil para wayangnya dengan kentongan. Lalu bagaimana jika menyertakan
bintang tamu ? Ternyata aturan wajib hadir saat penuangan juga berlaku untuk
bintang tamu. Sehingga semua merasa memiliki tanggung jawab sama dalam
mensukseskan pagelaran. Meski hanya peran kecil yang didapat.
HONOR DIBAGI RATA
Jika
dunia peran selalu identik dengan gemerlap, bukankah seharusnya hidup
pemerannya pun minimal berkecukupan ? Ternyata kenyataan memang tidak seindah
sandiwara. Meski mentas tiap malam,
terkadang gerabah pun masih harus digadaikan . Untuk makan.
Dalam
tobong, grup ketoprak akan dipimpin oleh seorang bas. “Bas lho ya bukan bos”, ucap Sukirman mengingatkan. Bas ini diambil
dari kata nebas. Maksudnya adalah
bekerja bersama dengan hasil dibagi sama rata. “Kalau bos dapet uang dibagi ke
anak buahnya beda-beda, bosnya dapat paling gedhe, kalau bas akan memabagi sama
rata”, terang pria yang masih keturunan Timur Tengah ini.
Honor
itu akan diperoleh setelah bas melunasi kewajibannya membayar pemain cabutan,
bintang tamu sampai alat-alat sewaan. Nah, sisa uang itulah yang kemudian
dibagi untuk para pemeran dan penayagan
yang jumlahnya berkisar 100 orang. Bisa dibayangkan bukan berapa prosentase
yang diterima perorangan ? Sangat minim. Apalagi harga tiket pementasan pun tidak
bisa tinggi dengan dalih kesenian rakyat.
Namun,
lagi-lagi kecintaan pelakunya pada seni membuat mereka rela berjuang mempertahankan
ketoprak. Meski akhirnya ketoprak tobong di Purbalingga pun tidak dapat
dipertahankan.
MATI SE-NGGON- NGGON
Bagi
Sumarni keleleran tidak memiliki
makanan masih lebih beruntung ketika menjalani hidup di tobong. Kejadian tidak
terlupa dalam hidupnya adalah ketika menyaksikan salah seorang rekan ibunya
meninggal di tobong. Saking melaratnya, untuk sekedar kain kafan dan biaya
penguburan pun mereka kesulitan. Dengan penuh iba, jasadnya kemudian hanya
ditutupi tikar dan dititipkan pada desa untuk dimakamkan sebagaimana mestinya.
Memang sudah menjadi tradisi tempat terakhir pementasan acapkali menjadi tempat
peristirahatan terakhir seorang gipsy ketoprak.
BEDA WILAYAH BEDA
CERITA
Beragam
legenda dan cerita rakyat di tanah Jawa membuat grup ketoprak harus pintar
membaca situasi. Guna memperahankan penonton, selain memainkan cerita berseri
setiap malam, mereka pun harus mengakhirkan pementasan dengan kisah-kisah
tertentu. Sebelum berpindah tempat, maka lakon terakhir yang dimainkan adalah
Kamadaka di Banyumas dan Haryo Penangsang di wilayah wetan.
Karakter
penokohan yang berbeda-beda membuat mereka menjadi hapal kostum dan riasan khas
para tokoh. Dan ketika berbicara tentang riasan, para seniman ini haruslah
dapat merias dirinya sendiri. Sesi ini kerap menjadi waktu ngobrol ringan
sebelum pentas dan pengeksplorasian kemampuan art painting pada wajah.
Dulu
make up bagi mereka dalah barang mahal. Sehingga pilihan pun jatuh pada serbuk
siwid. Mungkinkah yang dimaksud adalah sea weed ? Saya juga kurang paham. “Serbuk siwid ada di toko besi, murah kok, ada yang merah, kuning dan
putih”, tutur Sumarni.
Serbuk
siwid dalam pengunaannya harus melalui proses pemasakan lebih dulu. Siwid akan
direbus dengan air secukupnya beserta bunga kantil atau kenanga. Jika sudah
mendidih, cairan ini harus diendapkan dulu selama dua malam sebelum digunakan.
Untuk
mendapatkan warna yang diingnkan, tergantung dari proses pencampurannya. Dengan
siwid ini konon akan menjadikan wayang terlihat lebih bercahaya dibawah sinar
lampu. Meski bertahun-tahun menggunakan siwid, namun kulit keduanya tidka
mengalami kerusakan.
PENONTON PUN UNIK
Selain
kehidupan dalam tobong yang unik, penontonnya pun sangat khas. Banyak
masyarakat yang eringat dnegan tiga kelas bangku penpnton ketoprak tobong.
Kelas depan sendiri dengan harga tiket paling mahal dan kelas tiga berada di
urutan paling belakang dengan harga tiket termurah. Kursi penonton terbuat dari
bambu panjang tiga helai yang diikat seadanya. Tanpa sandaran. Pada sekitar
tahun 70’an harga tiketnya untuk ketiga kelas adalah Rp 25, Rp 50 dan Rp 75.
Sementara
itu beberapa orang juga masih teringat bagaimana dukanya menjadi penonton kelas
1 yang justru sering dilempari kulit kacang dari belakang. Karena disebut
mengalangi pandangan. Belum lagi jika masih harus mendapat kiriman aroma
pesing. Hmmmm,…itulah seninya menonton ketoprak tobong.
Purbalingga
sendiri memiliki bangunan tobong di dukuh Serang, dekat tugu knalpot sekarang.
Kabarnya sudah sampai berupa bangunan permanen yang cukup luas dengan pintu
khas berbentuk mengerucut. Namun sayang pada tahun 1986 bangunan itu tak lagi
berfungsi.
Bangunan
itu konon milik seorang Tionghoa bernama Koh Endro. Meski bukan pribumi, beliaulah
yang mencoa nguri-uri budaya ini. Bangunan ini berada di sebelah penginapan
miliknya dahulu. Bahkan saking cintanya dengan ketoprak beliau pun secara
khusus menuangkan kisah-kisah yang ditontonnya dalam catatan pribadinya yang
sempat dihadiahkan pada seseorang. Namun ketika saya mencoba mencarinya
kembali, buku serupa diary itu tak lagi ditemukan. Miris. Bahkan kini bangunan
sisa tobong telah dirombak total dan dibeli oleh salah satu pihak koperasi
simpan pinjam ternama di Indonesia.
Ya,
ketoprak memang sempat kembali mengalami kejayaan pada tahun 70’an pada era
Orde Baru. Namun ketika televisi menggempur rumah-rumah penduduk, lambat laun
seni inipun hilang peminat. Tragis.
Mungkin
memang benar, dunia ini panggung sandiwara. Begitu juga dengan dunia ketoprak
tobong di Purbalingga. Begitu kelir ditutup, maka pertunjukan pun usai.
(terimakasih
untuk pasangan Sukirman – Sumarni)
Comments
Post a Comment